#6 Deep Thoughts
Di siang hari, dibawah sakura yang berguguran tiba-tiba aku pingin nulis sesuatu. Tulisan ini ditujuin buat para penerima beasiswa apapun di masa yang akan datang. Curhat sekaligus motivasi.
Firstly, I wanna say that I am very thankful I can get this far. Aku bisa mencapai sesuatu yang diimpikan ratusan ribu siswa Indonesia, yaitu dapet beasiswa dan sekolah ke luar negeri. However, needless to say, I am still a human. Kadang-kadang ada sesuatu yang mengganjal di hati dan ngga bisa kita tutup-tutupin.
Okay, pertama bakal aku ceritain bagaimana rasanya saat diterima beasiswa? Senang? Pastilah. Bahagia? Jelas. Waktu itu aku merasa invincible karena menjadi yang terpilih dari ratusan orang. Tapi, waktu itu aku juga ngerasa sedih, karena 2 orang teman baikku yang ikut daftar ngga berhasil diterima. Padahal dalam pikiranku, kita bertiga udah bakal berangkat ke Jepang bareng. Di situ perasaan sedih, karena apa yang aku bayangkan berbeda dari kenyataan, pun muncul. Saat itu mungkin aku merasa bahagia, namun di sisi dunia yang lain, puluhan orang merasa sedih. Itulah pertandingan, kesedihan yang kalah adalah bayaran untuk kebahagiaan sang pemenang. Hal itu membuatku sedih.
Sekarang mari kita melihat masa sekarang, di Jepang. Disini, title "menjadi yang terpilih dari ratusan orang" itu telah hangus. Aku merasa bahwa disini, dihadapan orang-orang dari negara lain, aku balik menjadi orang biasa. Bahkan cenderung inferior dari mereka. Contohnya di kelas. Selama seminggu ini, aku sangat sulit mengerti apa yang sensei ajarkan. Mereka mengajar bahasa jepang dengan bahasa jepang, jadi paling ngga kita udah punya basic yang lumayan. Sedangkan basicku masih lemah. Jadi dari 100% yang sensei ucapkan, cuman 40% yang aku ngerti. Oh iya, aku ditempatin di kelas K1 (kelas prestasinya kousen gitu). Tapi, aku ngrasa ditempatin ditempat yang salah. Disini rata-rata mereka udah belajar nihongo tahunan, bahkan anak N1 nya udah ada 3. Mereka bicaranya lancar banget. Kebanyakan yang udah hebat tuh waktu pelajaran ngelamun aja, ato ngelakuin yang lain. e.g. baca novel. Nyesek gitu ya. Kita disini fokus maksimal, dianya malah baca novel. Meskipun banyak yang muji aku karena udah tembus beasiswa MEXT, tapi disini aku ngerasa biasa aja dibandingin mereka. I possess nothing special.
Tapi, kalo kalian mengalami hal yang sama, jangan berkecil hati. Kita tuh sebenernya terpilih kan? Pemberi beasiswa tuh udah percaya bahwa kita itu punya potensi. Aku sering memotivasi diriku sendiri dengan berpikir bahwa: mereka yang merasa dirinya sudah aman adalah orang yang paling lemah. Aku janji bahwa dalam waktu satu tahun ini, aku bakal belajar dan bakal ngebalap mereka yang N1. Aku jadi ingat cerita papaku, gini nih:
Dulu di Indonesia, orang yang mixed race belum diakui jadi WNI sepenuhnya. Mereka masih dianggap WNA. Nah, itulah yang dihadapi papaku. Dia waktu itu masih WNA, dan ngga bisa ngelanjutin kuliah di Indonesia karena bukan WNI. Jadi satu-satunya jalan adalah: harus ke luar negeri. Akhirnya papaku memutuskan buat sekolah di Taiwan, pake bahasa mandarin. Tapi masalahnya: papaku ngga bisa bahasa mandarin. Dia udah les di Indonesia pake 3 guru dan masih ngga bisa. Waktu di sana itu dia kelas dan sama sekali ngga ngerti. Di semester 1, papaku ngga di DO, soalnya waktu itu kalau ada 1 mata pelajaran yang lulus, ga bakal di DO. Mata pelajaran yang lulus cuman inggris listening. Itu pun mepet nilainya. Papaku akhirnya mencoba buat berguru ke temannya (sama kaya apa yang aku lakuin sekarang). Lama kelamaan dia bisa dan tahun 2,3, dan 4 dia udah mahir bahasa mandarinnya. Suatu saat, temannya papaku juga sekolah di Taiwan. Tapi bedanya dia udah mahir mandarin, bisa baca novel mandarin pula. Temannya papaku ini lagi depresi parah. Entah kenapa akhirnya ia ngga betah di Taiwan dan pulang. Mungkin karena dia terlalu menganggap dirinya aman dan berambisi buat berprestasi disana. Terkadang tuh realita beda banget dari angan-angan kita. Waktu lulus dan mau pulang ke Indonesia, papaku ketemu dosen lamanya, dan dosen lamanya kaget. Dosennya bilang: aku ngga percaya, kamu dulu ngga bisa bahasa mandarin tapi sekarang udah lulus dan mau pamitan sama aku. :').
Sekian curhatan aku kali ini. Sebenernya pingin mengakhiri post ini pake quote (mainstream banget) tapi ga nemu quote dari orang terkenal, malah nemu dari anime.
"That inferiority that you feel is the sign of a conqueror. No matter what you say, you know how small you are. And yet you still struggle to reach heights higher than you can imagine" - Rider
Firstly, I wanna say that I am very thankful I can get this far. Aku bisa mencapai sesuatu yang diimpikan ratusan ribu siswa Indonesia, yaitu dapet beasiswa dan sekolah ke luar negeri. However, needless to say, I am still a human. Kadang-kadang ada sesuatu yang mengganjal di hati dan ngga bisa kita tutup-tutupin.
Okay, pertama bakal aku ceritain bagaimana rasanya saat diterima beasiswa? Senang? Pastilah. Bahagia? Jelas. Waktu itu aku merasa invincible karena menjadi yang terpilih dari ratusan orang. Tapi, waktu itu aku juga ngerasa sedih, karena 2 orang teman baikku yang ikut daftar ngga berhasil diterima. Padahal dalam pikiranku, kita bertiga udah bakal berangkat ke Jepang bareng. Di situ perasaan sedih, karena apa yang aku bayangkan berbeda dari kenyataan, pun muncul. Saat itu mungkin aku merasa bahagia, namun di sisi dunia yang lain, puluhan orang merasa sedih. Itulah pertandingan, kesedihan yang kalah adalah bayaran untuk kebahagiaan sang pemenang. Hal itu membuatku sedih.
Sekarang mari kita melihat masa sekarang, di Jepang. Disini, title "menjadi yang terpilih dari ratusan orang" itu telah hangus. Aku merasa bahwa disini, dihadapan orang-orang dari negara lain, aku balik menjadi orang biasa. Bahkan cenderung inferior dari mereka. Contohnya di kelas. Selama seminggu ini, aku sangat sulit mengerti apa yang sensei ajarkan. Mereka mengajar bahasa jepang dengan bahasa jepang, jadi paling ngga kita udah punya basic yang lumayan. Sedangkan basicku masih lemah. Jadi dari 100% yang sensei ucapkan, cuman 40% yang aku ngerti. Oh iya, aku ditempatin di kelas K1 (kelas prestasinya kousen gitu). Tapi, aku ngrasa ditempatin ditempat yang salah. Disini rata-rata mereka udah belajar nihongo tahunan, bahkan anak N1 nya udah ada 3. Mereka bicaranya lancar banget. Kebanyakan yang udah hebat tuh waktu pelajaran ngelamun aja, ato ngelakuin yang lain. e.g. baca novel. Nyesek gitu ya. Kita disini fokus maksimal, dianya malah baca novel. Meskipun banyak yang muji aku karena udah tembus beasiswa MEXT, tapi disini aku ngerasa biasa aja dibandingin mereka. I possess nothing special.
Tapi, kalo kalian mengalami hal yang sama, jangan berkecil hati. Kita tuh sebenernya terpilih kan? Pemberi beasiswa tuh udah percaya bahwa kita itu punya potensi. Aku sering memotivasi diriku sendiri dengan berpikir bahwa: mereka yang merasa dirinya sudah aman adalah orang yang paling lemah. Aku janji bahwa dalam waktu satu tahun ini, aku bakal belajar dan bakal ngebalap mereka yang N1. Aku jadi ingat cerita papaku, gini nih:
Dulu di Indonesia, orang yang mixed race belum diakui jadi WNI sepenuhnya. Mereka masih dianggap WNA. Nah, itulah yang dihadapi papaku. Dia waktu itu masih WNA, dan ngga bisa ngelanjutin kuliah di Indonesia karena bukan WNI. Jadi satu-satunya jalan adalah: harus ke luar negeri. Akhirnya papaku memutuskan buat sekolah di Taiwan, pake bahasa mandarin. Tapi masalahnya: papaku ngga bisa bahasa mandarin. Dia udah les di Indonesia pake 3 guru dan masih ngga bisa. Waktu di sana itu dia kelas dan sama sekali ngga ngerti. Di semester 1, papaku ngga di DO, soalnya waktu itu kalau ada 1 mata pelajaran yang lulus, ga bakal di DO. Mata pelajaran yang lulus cuman inggris listening. Itu pun mepet nilainya. Papaku akhirnya mencoba buat berguru ke temannya (sama kaya apa yang aku lakuin sekarang). Lama kelamaan dia bisa dan tahun 2,3, dan 4 dia udah mahir bahasa mandarinnya. Suatu saat, temannya papaku juga sekolah di Taiwan. Tapi bedanya dia udah mahir mandarin, bisa baca novel mandarin pula. Temannya papaku ini lagi depresi parah. Entah kenapa akhirnya ia ngga betah di Taiwan dan pulang. Mungkin karena dia terlalu menganggap dirinya aman dan berambisi buat berprestasi disana. Terkadang tuh realita beda banget dari angan-angan kita. Waktu lulus dan mau pulang ke Indonesia, papaku ketemu dosen lamanya, dan dosen lamanya kaget. Dosennya bilang: aku ngga percaya, kamu dulu ngga bisa bahasa mandarin tapi sekarang udah lulus dan mau pamitan sama aku. :').
Sekian curhatan aku kali ini. Sebenernya pingin mengakhiri post ini pake quote (mainstream banget) tapi ga nemu quote dari orang terkenal, malah nemu dari anime.
"That inferiority that you feel is the sign of a conqueror. No matter what you say, you know how small you are. And yet you still struggle to reach heights higher than you can imagine" - Rider
Comments
Post a Comment